Aku termenung dan hanya
termenung, ragaku disini tetapi entahlah dengan jiwaku.
“
ya allah..begitu nikmatnya kau memberikanku ujian demi ujian dalam hidup ini,
belum kering luka hatiku ditinggal pergi sosok ayah karena menikah lagi dan
meninggalkan ibu begitu saja, yah..ibu yang di campakkan begitu saja justru di
usia senjanya. Ketika ayah pun sudah tidak bekerja lagi, karena memang sudah
memasuki masa pensiun. Sakit rasanya membayangkan semua itu.
Lalu kenapa aku pun harus
juga merasakannya untuk yang kedua kali, kehilangan suamiku..suami yang teramat
aku cintai, suami yang aku harapkan memberikan kehangatan padaku setiap saat,
menenangkanku ketika di hinggapi kecemasan khas seorang ibu saat si kecil sakit
dan menjadi panutan dalam hidupku. Justru dengan mudahnya dia mencampakkanku, menghina
dinaku, menganggap aku wnita rendahan dan entahlah apalagi kata-kata yang dia
ucapkan padaku, ya allah begitu sulit aku untuk menerima ini semua.
Si kecil sudah 2x
masuk rumah sakit, karena kejang dan
harus opname beberapa hari, waktu itu kami masih bersama dan sampai hari inipun
sebetulnya kami masih sah sebagai sepasang suami istri, karena memang belum ada
keputusan pengadilan.
Aku sebetulnya mudah
saja mengurus selembar kertas itu, tetapi aku masih menunggu iktikad baik sumiku
untuk bisa kembali memelukku dan memeluk si kecil tiara, sungguh hatiku tidak
tega ketika tiara melihat ada seorang anak di gendong ayahnya, kemudian
wajahnya menunduk layu tetapi matanya tak lepas sedikitpun memandanginya.
Hatiku sakit dan
teramat sakit, melihat putri kecilku harus menderita seperti ini ditinggalkan
oleh sosok ayah sejak kecil, aku yang sudah besar dan berumahtannga saja
dtinggal oleh sosok yang aku kagumi, sosok yang begitu aku jadikan panutan. Di
saat itulah hatiku bak di sayat pisau tumpul, sakit sekali rasanya.
Aku tahu tiara masih
kecil, usianya baru genap satu tahun bulan januari kemarin. Tetapi dia adalah
makhluk tuhan yang juga punya hati dan perasaan, andaikan dia sudah bisa bicara
dan menanyakan dimana ayahnya? Sungguh hatiku tambah ingin menjerit
sejadi-jadinya.
Duh...gusti..inikah
hidup yang harus aku jalani. Inikah bukti kau begitu menyayangiku. Inikah bukti
bahwa kau akan mengangkat derajatku. Aku tidak ingin berburuk sangka padamu
tuhanku, aku pun yakin jika aku masih hidup sampai hari ini itu atas
kehendakMu, dan jika kau buat hidupku seperti inipun itu adalah kehendakMu,
karena hakikatnya hidup ini adalah milikMu.
Sepertinya aku pun tidak perlu berfikir bagaimana mengakhiri
hidupku, karena tanpa aku meminta padamu
pada akhirnya aku pun akan mati juga dan jiwa raga ini kembali kepadamu, dan
disaat itulah aku takut kau akan meminta pertanggungawabanku sebagai seorang
istri, seorang anak dan seorang ibu.
Aku bukanlah manusia
yang sempurna, aku hanyalah manusia biasa yang penuh khilaf dan dosa, aku tidak
ingin menjadi wanita yang congak ketika hari ini aku bisa menghidupi diriku dan
anakku, aku tidak ingin kesombongan yang menguasaiku karena aku bisa bekerja
sedangkan suamiku tidak.
Pernah suamiku hidup
sebagai benalu, aku pun tak masalah jika kau masih mau perhatian denganku dan
anak kita, tetapi kau pun masih saja berkeras kepala dan berhati batu. Entahlah
apa yang kini merasuki jasadmu yang ceking tak bertenaga itu, bukan aku
menghinamu.
Dulu aku tak perduli
dengan fisikmu, tetapi aku yakin hatimu bersih. Hatimu penuh kasih sayang,
karena itulah janjimu dulu padaku, tidak akan pernah meninggalkanku bahkan
ketika aku harus kehilangan janinku, kau tetap menyemangatiku dan kau pun
berjanji tidak akan meninggalkanku bagaimanapun kondisiku.
Di kehamilan yang
ketiga, allah izinkan janin itu tumbuh
di rahimku hingga akhirnya dia lahir ke dunia, syukur tiada terkira. Dan
fikirku suamiku akan semakin sayang padaku, karena kini ada anak diantara kita.
Ternyata justru
sebaliknya, kini aku mendapatkan seorang anak dan aku harus kehilangan suami,
tuhan...apakah ini adil bagiku??? Aku yang mencoba berbaik sangka padamu tapi
ini yang kau berikan padaku??? Aku tidak kuat dengan semua ini, ingin aku
akhiri saja penderitaaku ini yang semua datangnya sungguh bertubi-tubi.
Astaghfirullah..ya
allah aku masih saja merenung dan entah kini ada dimana jiwaku, hanya air
bening itu yang meluncur begitu derasnya di pipiku, aku memandang gerimis di
depan rumah. Dan sesekali menengok tiara yang tertidur pulas, ada rasa bahagia
dan sakit yang bercampur menjadi satu.
Tuhan..inikah hidup
yang harus aku jalani?? Aku masih saja terus bertanya..dan bertanya..entah
sampai kapan. Yang aku tahu sekarang aku harus berusaha kuat dan tegar untuk
tetap bisa tersenyum bersama tiara, putri kecilku..semangat hidupku.
Kadang aku takut, jika
allah mengambil tiaraku, mengambil
kebahagiaanku, mengambil segalanya lagi dariku. Tapi tuhanku...aku hanyalah
hamba yang haru selalu bersujud padaMu izinkan aku untuk selalu mengingatMu,
hanya engkau yang dapat menenangkanku, karen Engkau pula ya tuhan. Aku kuat
menjalani hidup ini.
Aku pun ingin
mendapatkan ridho dari suamiku, aku pun ingin mendapatkan surga darinya,
berbakti dan taat kepada suami itulah yang aku inginkan. Hidup bersama dengannya
dan kita bahagia mengarungi hidup ini bersama, mendidik anak-anak kita dengan
penuh cinta dan kasih sayang.
Ah...semuanya hanyalah
mimpi belaka, luka ini masih menganga begitu lebar, sehingga tanpa di minta pun
air mata ini keluar dengan sendirinya, seakan ingin mengiringi kepedihanku saat
ini.
Allahumma shoyyibannaffi’a...aku
beranjak dan mengambil air wudhu ketika kumandang adzan maghrib itu pun
terdengar dengan sayup-sayup dan begitu menenagkan jiwaku yang begitu gersang.
Izinkan aku bersujud
padamu ya allah, izinkan aku menumpahkan
segala sesak di dadaku kepadamu sang maha pemilik hidup ini, izinkan aku untuk
menjadi wanita yang tegar untuk bisa terus tersenyum membersamai putri kecilku,
aku mengecup dengan penuh cinta putri kesayanganku.