Rabu, 19 April 2017

Luka


Aku termenung dan hanya termenung, ragaku disini tetapi entahlah dengan jiwaku.
 “ ya allah..begitu nikmatnya kau memberikanku ujian demi ujian dalam hidup ini, belum kering luka hatiku ditinggal pergi sosok ayah karena menikah lagi dan meninggalkan ibu begitu saja, yah..ibu yang di campakkan begitu saja justru di usia senjanya. Ketika ayah pun sudah tidak bekerja lagi, karena memang sudah memasuki masa pensiun. Sakit rasanya membayangkan semua itu.
Lalu kenapa aku pun harus juga merasakannya untuk yang kedua kali, kehilangan suamiku..suami yang teramat aku cintai, suami yang aku harapkan memberikan kehangatan padaku setiap saat, menenangkanku ketika di hinggapi kecemasan khas seorang ibu saat si kecil sakit dan menjadi panutan dalam hidupku. Justru dengan mudahnya dia mencampakkanku, menghina dinaku, menganggap aku wnita rendahan dan entahlah apalagi kata-kata yang dia ucapkan padaku, ya allah begitu sulit aku untuk menerima ini semua.
Si kecil sudah 2x masuk  rumah sakit, karena kejang dan harus opname beberapa hari, waktu itu kami masih bersama dan sampai hari inipun sebetulnya kami masih sah sebagai sepasang suami istri, karena memang belum ada keputusan pengadilan.
Aku sebetulnya mudah saja mengurus selembar kertas itu, tetapi aku masih menunggu iktikad baik sumiku untuk bisa kembali memelukku dan memeluk si kecil tiara, sungguh hatiku tidak tega ketika tiara melihat ada seorang anak di gendong ayahnya, kemudian wajahnya menunduk layu tetapi matanya tak lepas sedikitpun memandanginya.
Hatiku sakit dan teramat sakit, melihat putri kecilku harus menderita seperti ini ditinggalkan oleh sosok ayah sejak kecil, aku yang sudah besar dan berumahtannga saja dtinggal oleh sosok yang aku kagumi, sosok yang begitu aku jadikan panutan. Di saat itulah hatiku bak di sayat pisau tumpul, sakit sekali rasanya.
Aku tahu tiara masih kecil, usianya baru genap satu tahun bulan januari kemarin. Tetapi dia adalah makhluk tuhan yang juga punya hati dan perasaan, andaikan dia sudah bisa bicara dan menanyakan dimana ayahnya? Sungguh hatiku tambah ingin menjerit sejadi-jadinya.
Duh...gusti..inikah hidup yang harus aku jalani. Inikah bukti kau begitu menyayangiku. Inikah bukti bahwa kau akan mengangkat derajatku. Aku tidak ingin berburuk sangka padamu tuhanku, aku pun yakin jika aku masih hidup sampai hari ini itu atas kehendakMu, dan jika kau buat hidupku seperti inipun itu adalah kehendakMu, karena hakikatnya hidup ini adalah milikMu.
Sepertinya  aku pun tidak perlu berfikir bagaimana mengakhiri hidupku, karena tanpa  aku meminta padamu pada akhirnya aku pun akan mati juga dan jiwa raga ini kembali kepadamu, dan disaat itulah aku takut kau akan meminta pertanggungawabanku sebagai seorang istri, seorang anak dan seorang ibu.
Aku bukanlah manusia yang sempurna, aku hanyalah manusia biasa yang penuh khilaf dan dosa, aku tidak ingin menjadi wanita yang congak ketika hari ini aku bisa menghidupi diriku dan anakku, aku tidak ingin kesombongan yang menguasaiku karena aku bisa bekerja sedangkan suamiku tidak.
Pernah suamiku hidup sebagai benalu, aku pun tak masalah jika kau masih mau perhatian denganku dan anak kita, tetapi kau pun masih saja berkeras kepala dan berhati batu. Entahlah apa yang kini merasuki jasadmu yang ceking tak bertenaga itu, bukan aku menghinamu.
Dulu aku tak perduli dengan fisikmu, tetapi aku yakin hatimu bersih. Hatimu penuh kasih sayang, karena itulah janjimu dulu padaku, tidak akan pernah meninggalkanku bahkan ketika aku harus kehilangan janinku, kau tetap menyemangatiku dan kau pun berjanji tidak akan meninggalkanku bagaimanapun kondisiku.
Di kehamilan yang ketiga, allah izinkan  janin itu tumbuh di rahimku hingga akhirnya dia lahir ke dunia, syukur tiada terkira. Dan fikirku suamiku akan semakin sayang padaku, karena kini ada anak diantara kita.
Ternyata justru sebaliknya, kini aku mendapatkan seorang anak dan aku harus kehilangan suami, tuhan...apakah ini adil bagiku??? Aku yang mencoba berbaik sangka padamu tapi ini yang kau berikan padaku??? Aku tidak kuat dengan semua ini, ingin aku akhiri saja penderitaaku ini yang semua datangnya sungguh bertubi-tubi.
Astaghfirullah..ya allah aku masih saja merenung dan entah kini ada dimana jiwaku, hanya air bening itu yang meluncur begitu derasnya di pipiku, aku memandang gerimis di depan rumah. Dan sesekali menengok tiara yang tertidur pulas, ada rasa bahagia dan sakit yang bercampur menjadi satu.
Tuhan..inikah hidup yang harus aku jalani?? Aku masih saja terus bertanya..dan bertanya..entah sampai kapan. Yang aku tahu sekarang aku harus berusaha kuat dan tegar untuk tetap bisa tersenyum bersama tiara, putri kecilku..semangat hidupku.
Kadang aku takut, jika allah mengambil tiaraku, mengambil  kebahagiaanku, mengambil segalanya lagi dariku. Tapi tuhanku...aku hanyalah hamba yang haru selalu bersujud padaMu izinkan aku untuk selalu mengingatMu, hanya engkau yang dapat menenangkanku, karen Engkau pula ya tuhan. Aku kuat menjalani hidup ini.
Aku pun ingin mendapatkan ridho dari suamiku, aku pun ingin mendapatkan surga darinya, berbakti dan taat kepada suami itulah yang aku inginkan. Hidup bersama dengannya dan kita bahagia mengarungi hidup ini bersama, mendidik anak-anak kita dengan penuh cinta dan kasih sayang.
Ah...semuanya hanyalah mimpi belaka, luka ini masih menganga begitu lebar, sehingga tanpa di minta pun air mata ini keluar dengan sendirinya, seakan ingin mengiringi kepedihanku saat ini.
Allahumma shoyyibannaffi’a...aku beranjak dan mengambil air wudhu ketika kumandang adzan maghrib itu pun terdengar dengan sayup-sayup dan begitu menenagkan jiwaku yang begitu gersang.
Izinkan aku bersujud padamu ya allah,  izinkan aku menumpahkan segala sesak di dadaku kepadamu sang maha pemilik hidup ini, izinkan aku untuk menjadi wanita yang tegar untuk bisa terus tersenyum membersamai putri kecilku, aku mengecup dengan penuh cinta putri kesayanganku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar