Rabu, 15 Maret 2017

Maaf jika aku memilih bercerai

Hujan masih saja lebat di luar sana, membuat suasana dingin yang semakin menggigil, biasanya suami sinta akan datang memeluknya dari belakang, di tengah guyuran hujan dari dalam rumah mereka bercengkrama, bercerita apa saja yang ingin mereka ceritakan, berkhayal tentang anak-anak dan masa depan mereka, mempunyai rumah sendiri, bisnis sendiri dan segalanya mereka rancang apik dalam khayalan mereka, yah…ketika itu mereka belum di karuniai diva dan reno, dua anak sinta hasil perkawinan dengan suaminya. Kini, telah tumbuh dewasa dan telah menikah serta memilih untuk tinggal dengan istri dan suami serta anaknya masing-masing. Tinggal sinta di rumah sendirian, meratapi nasibnya sebagai seorang…disebut janda juga bukan, seorang wanita yang sudah punya suami tapi entah suamiku dimana, yah..10 tahun yang lalu suamiku menghianati diriku, dia pergi bersama wanita lain sehingga si wanita hamil, jangan ditanya seperti apa hatiku kala itu remuk redam tak berbentuk, suamiku memang bukanlah tipe orang yang selalu romatis, bahkan beberapakali dia menyiksaku, memukul bahkan menamparku di depan anak-anak pun pernah suamiku melakukannya, tapi aku berfikir mungkin aku yang salah sehingga membuatnya marah, selalu dan selalu berfikir positif tentangnya, jika perlakuan fisiknya terhadapku aku mudah begitu saja memaafkan, tetapi jika suamiku sampai mengkhianatiku, dengan pergi dengan wanita lain dan sampai wanita itu hamil, ya allah…bodohnya aku jika sampai hari ini pun aku masih bertahan. Yah…aku masih bertahan selama 10 tahun dia mengkhiaatiku, dia yang telah mencoreng wajahku dia buat hatiku hancur berkeping-keping, tapi aku mencoba menerima keadaan ini dan hatiku aku usahakan berdamai dengan keadaan, walaupun aku tidak ingin mengenal dan tidak mau tahu soal perempuan jalang itu, perempuan yang telah menghancurkan rumah tanggaku, dahulu kenapa aku bertahan itu semata demi anak-anak, yah..anak-anakku masih kecil dan membutuhkan seorang ayah, apalagi dengan diva yang kala itu sebentar lagi akan menikah, dia butuh seorang wali dan ayahnya itulah walinya. Sinta mencoba dan terus mencoba bertahan, segala jurus fikiran positif dia keluarkan agar kedamaian hati yang sinta dapatkan juga ketegaran jiwa. Walapun itu hanya terlihat di luar saja, dalamnya hati manusia siapalah yang tahu, hanya allah sang maha pemilik kehidupan ini yang tahu segalanya.
Hari ini suamiku berkunjung kerumahku dan aku bertanya “ pak sampun dahar (pak..sudah makan?)” dan dia tidak menjawab karena masih sibuk dengan hapenya, baiklah aku buatkan kopi saja untuknya, setelah kopi tersuguh di atas meja di depannya dan aku duduk saja di depannya seperti seorang pembantu dengan majikannya, menunggu perintah selanjutnya ataukah di suruh pergi, lama…aku tunggu tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut suamiku, aku mencoba menunggu dan bersabar lagi sembari melancarkan jurus “positive thingking” ku, oh…mungkin suamiku masih sibuk dengan temannya, baiklah aku yang memulai bertanya dengan nada selembut mungkin agar dia bisa merespon apa yang aku katakan, “ pak…niki kopine dipun unjuk, takseh panas..mengken nek sampun adem mboten eco (pak..ini kopinya diminum, mumpung masih panas, nanti kalau sudah dingin tidak enak) dan tahukah apa repon suamiku kala itu, dia msih diam seribu bahasa. Ya sudahalah…aku tinggalkan saja dia pergi ke belakang, mengerjakan apa saja yeng penting aku punya kesibukan, seperti biasanya kalau siang hari jatah dia berada di rumah sini, dirumahku sebut saja begitu walapun dahulu kita juga membangun rumah ini dengan penuh susah payah berdua, dan ketika sore menjelang malam barulah suamiku pulang kerumah perempuan jalang itu, yah…aku selalu menyebutnya demikian dan entahlah sampai kapanpun rasanya hati ini tidak mau menerimanya, jika malam telah menjelang aku hanya berada dirumah sendirian, kadang  menanti subuh terasa begitu lama sekali, detik demi detik berjalan sangat lambat bak siput saja, resah gelisah sering menghantui malam-malam sinta, apalagi jika dia membayangkan suaminya sedang berasyik mashuk dengan perempuan jalang itu, ingin rasanya sinta mati saja, buat apa sinta hidup jika diperlakukan seperti ini, sinta berusaha untuk menerima segalanya pun suami sinta masih bersikap seperti itu, dan kini suami sinta tidak berpenghasilan tidak mempunyai pekerjaan setiap hari yah..kerjaanya pergi dari rumah istri tuanya kemudian sore pulang kerumah istri mudanya, pagi sudah pulang kesini lagi malam sudah pulang kesana lagi, dan seperti itu setiap hari. Aku masih berharap suamiku kembali kepadaku, suamiku kembali seperti dulu kala yang utuh mencitaiku tanpa terbagi hatinya dengan perempuan lain, tapi…apakah itu mungkin? Perempuan jalang itu lebih muda dan lebih cantik dariku, aku hanya wanita tua yang tidak pernah bersolek dan buat apalah aku bersolek jika suamiku juga tidak dirumah, buat apa juga aku tampil cantik pun suamiku tidak memujiku, bagiku setiap hari adalah neraka dunia, aku mencoba bersabar dan bertahan dengan semua ini tetapi khayalan-khayalanku tentang hubungan perempuan jalang itu dengan suamiku selalu menggangguku, ketika malam tiba aku mebayangkan suamiku sedang bercinta dengannya, aku disini kedinginan sendirian ingin rasanya bisa tidur di peluk suamiku..agar bisa sekejap saja tertidur pulas.
Pernah suatu ketika karena hujan tak kunjung reda sore itu, suamiku akhirnya memutuskan untuk menginap di rumahku malam itu, tapi terlebih dahulu menelepon perempuan jalang itu dan dengan nada manja istri mudanya tak ingin ditinggalkan tapi dengan rayuan gombal khas ala suamiku kalau besok mau di ajak jalan-jalan, damai juga hati tuh,,perempuan jalang. Ada kelegaan di hatiku akhirnya suamiku mau menginap juga di rumahku, Walaupun tidak pernah juga aku di telepon semesra itu. Ku persiapkan diriku setelah shalat  isyak aku ganti sprei dengan warna ungu kesukaannya, aku beri parfum agar tidak tercim bau apeknya, aku ingin memakai baju yang bagus dan sedikit bersolek untuknya, berharap dia kan bergirah lagi padaku seperti awal kita menikah dan menjadi pengantin baru, suamiku masih asyik saja dengan hapenya, smsan dan sesekali menelepon entah siapa, ku tunggu dia di kamar dan aku telah siap jika suamiku masuk kamar nanti, aku panggil dia agar masuk ke kamar “ pak…sampun ndalu..mboten sare (pak…sudah malam…tidak tidur?) dan akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulut kekasihnya, suami yang telah lama dirindukannya, untuk sekedar membelainya saja ah…rasanya syurga dunia itu kembli menjadi miliknya, “ iyah..bentar..” ujar lirih suami sinta di luar sana. Ah…berbunganya hati sinta dan berharap malam ini menjadi malam yang indah buatnya, tidak seperti malam-malam sebelumnya yang selalu membiru dan kelabu, akhirnya suami sinta masuk ke dalam kamar dan wajahnya agak kaget dengan suasana kamar yang begitu romantis dan dengan dandanan sinta  yang tidak seperti biasanya, sinta mencoba berdiam diri berusaha menyembunyikan kebahagiaanya juga tidak merespon kekagetan suaminya, sinta memberi waktu untuk suaminya menikmati malam bersmanya seperti yang dia khayalkan, benar saja mereka malam itu tidur berdua tetapi sama sekali sinta tidak disentuh suaminya, sinta yang telah persiapkan semuanya dengan sempurna, sinta yang berpakaian rapi dan wangi serta bersolek pun tak membuatnya bergairah seperti dulu kala, sinta hanya menangis sesenggukan di pojok kamarnya, benarkah suami sinta kini tidak mencintainya lagi, sekedar menyentuh saja suaminya tidak mau, apakah aku sehina itu? Dan segala pertanyaan berkecamuk di hatinya, ingin malam itu sinta pergi dan kabur dari rumah kemudian menuju jembatan dan ingin dia loncat saja, tapi…sinta masih punya iman dan baiklah jikalau suamiku tidak menginginkanku lagi, sekedar menyentuhku saja dia tidak mau…oh tuhan..tidak.. untuk mengatakan hal ini begiku sangat berat, haruskah aku bercerai dengannnya? Haruskah aku berpisah dengannya? Aku masih mencintainya? Tapi ..apakah dia masih mencintaikuu? Malam itu sinta habiskan untuk bermesraan dengan rabb nya meminta ampun dan bersujud serta meminta petunjuk untuk kebaikannya.
Sungguh anak-anak sinta pun tak perduli padanya, sekedar menengok ibunya saja jarang dilakukan, sinta sudah tua dan ketika pergi jauh-jauh apalagi naik bis kota sering mual dan pusing, berharap dan hanya berharap anak dan cucunya bisa mengunjunginya walapun hanya  sebulan sekali atau setiap hari walapun Cuma beberapa menit menelepon dan menanyakan kabarnya, duh…alangkah bahagia hati sinta. Tetapi itu juga hanya khayalan saja, sinta hanya seorang diri  meratapi nasibnya di duakan cinta sucinya oleh suami tercinta, berusaha menerima keadaan dan bertahan demi anak-anaknya, pun inilah balasan anak-anaknya kepadanya. Perih…jika di fikir tetapi satu hal yang selalu menguatkan sinta, ada allah yang selalu menemani malamnya, ada allah yang selalu menemani hari-hari sepinya, keyakinan itulah yang membuat sinta tetap bertahan dan tidak melupakan kewajibannya sebagai hambaNYA. Biarlah…aku hanya bisa berdo’a untuk kebaikan anak-anakku dimanapun mereka berada, semoga mereka tidak mengalami kepahitan yang aku rasakan, berilah mereka selalu kebahagiaan ya allah…selalu do’a sinta ketika seusai shalat fardhu atau sunah.

Sinta hanya seorang perempuan yang ingin tetap mempertahankan rumah tangganya, walapun telah porak poranda dan hatinya pun entah bagaiman kabarnya, harapan demi harapan yang sinta sematkan di hatinya agar kelak suaminya, kembali kepadanya, kembali mencintainya dengan utuh tanpa terbagi dengan wanita lain, sepertinya tidak mungkin itu kembali lagi..itu hanya khayalan dan sinta harus mengakhiri semua ini, sinta tidak ingin di akhir hidupnya kelak hanya di hinggapi harapan  demi harapan yang justru hanya sebuah khayalan saja, sinta ingin di akhir hidupnya menjadi manusia yang berguna, manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya, sinta ingin mengubah hidupnya untuk menjadi lebih bahagia, jika dia yang aku perjuangkan mati-matian tetapi sedikitpun perasaan iba tidak ada padanya untuk apa hubungan ini tetap aku lanjutkan, dan setelah sinta berifikir agak lama dan selalu menanyakan hal ini kepada allah agar dia mempermudah dan memberinya petunjuk yang terbaik, akhirnya dengan kemantapan hati, esoknya sinta mengajukan cerai ke pengadilan agama dan tidak berapa lama keputusan hakim telah di tetapkan bahwa sinta dan suaminya resmi bercerai, ah…sungguh kelegaan yang luar biasa sinta rasakan menjalar  di hatinya dan seluruh tubuhnya, rantai harapan dan khayalan itu tidak lagi membelenggunya. Kini sinta menjadi wanita bebas. Masih di temani hujan yang begitu deras di luar sana, sembari sesekali menyeruput teh tubruk kegemarannya sewaktu suaminya masih setia dissi disampingnya, menemaninya bercnda dan tertawa bersama, ah..inilah hidup, semua apa yang terjadi ke depannya biarlah menjadi misteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar